HIPERSENSITIVITAS (Oleh Wulan Dwi Septia)

            Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. Reaksi hipersensitivitas terdiri atas berbagai kelainan yang heterogen yang dapat dibagi menurut berbagai cara. (Baratawidjaja, 2009).
Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe I hipersensitif anafilaktif, tipe II hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi, tipe III hipersensitif yang diperani kompleks imun, dan tipe IV  hipersensitif cell-mediated (hipersensitif tipe lambat). (Arwin dkk, 2008).

1.      Reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe cepat atau anafilataksis)
Reaksi hipersensitivitas tipe I merupakan reaksi alergi yang terjadi karena terpapar antigen spesifik yang dikenal sebagai alergen. Terpapar dengan cara ditelan, dihirup, disuntik, ataupun kontak langsung. Perbedaan antara respon imun normal dan hipersensitivitas tipe I adalah adanya sekresi IgE yang dihasilkan oleh sel plasma. Antibodi ini akan berikatan dengan respetor IgE pada permukaan jaringan sel mast dan basofil. Sel mast dan basofil yang dilapisi oleh IgE akan tersensitisasi (fase sensitisasi), karena sel B memerlukan waktu untuk menghasilkan IgE, maka pada kontak pertama, tidak terjadi apa-apa. Waktu yang diperlukan bervariasi dari 15-30 menit hingga 10-20 jam. Adanya alergen pada kontak pertama menstimulasi sel B untuk memproduksi antibodi, yaitu IgE. IgE kemudian masuk ke aliran darah dan berikatan dengan reseptor disel mastosit dan basofil sehingga sel mastosit atau basofil menjadi tersensitisasi. Pada saat kontak ulang dengan alergen, maka alergen akan berikatan dengan IgE yang berikatan dengan antibodi di sel mastosit atau basofil dan menyebabkan terjadinya granulasi (Abbas, 2004)

Degranulasi menyebakan pelepasan mediator inflamasi primer dan sekunder. Mediator primer menyebabkan eosinofil dan neutrofil serta merstimulasi terjadinya urtikaria(gatal), vasodilatasi, meningkatnya permiabilitas vaskular, Sedangkan mediator sekunder menyebakan peningkatan pelepasan metabolit asam arakidonat (prostaglandin dan leukotrien) dan protein (sitokin and enzim). (Boediana, 1996)

Contoh yang sering dari hipersensitivitas tipe I ialah demam, pilek, eksema pada masa kanak-kanak, dan asma ekstrinsik. Diagnosis hipersensitivitas tipe I biasanya dibuat dengan memperlihatkan adanya hubungan antara pemaparan antigen dalam lingkungan tertentu dan timbulnya gejala pada waktu anamnesis yang teliti (Underwood, 1999)

2.      Reaksi hipersensitivitas tipe II (reaksi sitotoksik)
Reaksi hipersensitivitas tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik, terjadi karena dibentuk antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Reaksi diawali oleh reaksi antara antibodi dan determinan antigen yang merupakan bagian dari membran sel tergantung apakah komplemen atau molekul asesori dan metabolisme sel dilibatkan. Istilah lebih tepat mengingat reaksi yang terjadi disebabkan lisis dan bukan efek toksik. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fcγ-R dan juga sel NK yang dapat berperan sebagai sel efektor dan menimbulkan kerusakan melalui ADCC. Reaksi tipe II dapat menunjukkan berbagai manifestasi klinik (Baratawidjaja, 2009).
Mekanisme singkat dari reaksi hipersensitivitas tipe II adalah sebagai berikut :
  • IgG dan IgM berikatan dengan antigen di permukaan sel
  • Fagositosis sel target atau lisis sel target oleh komplemen, ADCC dan atua antibodi
  • Pengeluaran mediator kimiawi
  • Timbul manifestasi (anemia hemolitik autoimun, eritoblastosis fetalis, sindrom Good Pasture atau pemvigus vulgaris)

Penyakit
Antigen target
Mekanisme
Manifestasi klinopatologi
Anemia hemolitik autoimun
Protein membran eritrosit (antigen golongan darah Rh)
Opsonisasi dan fagositosis eritrosit
Hemolisis, anemia
Pemfigus vulgaris
Protein pada hubungan interseluler pada sel epidermal(epidemal cadherin)
Aktivasi protease diperantarai antibodi, gangguan adhesi interseluler
Vesikel kulit (bula)
Sindrom Goodpasture
Protein non-kolagen pada membran dasar glomerulus ginjal dan alveolus paru
Inflamasi yang diperantarai komplemen dan reseptor Fc
Nefritis, perdarahan paru
(Abbas, 2004)

3.      Reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi komplek imun)
Hipersensitivitas tipe III diperantarai oleh pengendapan kompleks antigencantibodi c (imun), diikuti dengan aktivitas komplemen dan akumulasi leukosit polimorfonuklear.Kompleks imun dapat melibatkan antigen eksogen seperti bakteri dan virus, atau antigen endogen seperti DNA. Kompleks imun patogen terbentuk dalam sirkulasi dan kemudian mengendap dalam jaringan ataupun terbentuk di daerah ekstravaskular tempat antigen tersebut tertanam.

Jejas akibat kompleks imun dapat bersifat sistemik jika kompleks tersebut terbentuk dalam sirkulasi mengendap dalam berbagai organ , atau terlokalisasi pada organ tertentu (misalnya, ginjal, sendi, atau kulit) jika kompleks tersebut terbentuk dan mengendap pada tempat khusus. Tanpa memperhatikan pola distribusi, mekanisme terjadinya jejas jarungan adalah sama namun, urutan kejadian dan kondisi yang menyebabkan terbentuknya kompleks imun berbeda. Pada keadaan normal kompleks imun dalam sirkulasi diikat dan diangkut eritrosit ke hati, limpa dan di sana dimusnahkanoleh sel fagosit mononuklear, terutama di hati, limpa dan paru tanpa bantuan komplemen. Pada umumnya kompleks yang besar dapat dengan mudah dan cepat dimusnahkan oleh makrofag dalam hati. Kompleks kecil dan larut sulit untuk dimusnahkan, karena itu dapat lebih lama berada dalam sirkulasi. Diduga bahwa gangguan fungsi fagosit merupakan salah satu penyebab mengapa kompleks tersebut sulit dimusnahkan. Meskipun kompleks imun berada dalam sirkulasi untuk jangka waktu yang lama, biasanya tidak berbahaya. Permasalahan akan timbul bila kompleks imun tersebut mengendap di jaringan (Baratawidjaja, 2009).
Mekanisme reaksi tipe III ini adalah :
  • Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang sulit difagosit
  • Mengaktifkan komplemen
  • Menarik perhatian Neutrofil
  • Pelepasan enzim lisosom
  • Pengeluaran mediator kimiawi
  • Timbul manifestasi, seperti reaksi Arthus, serum sickness, LES, AR, Glomerulonefritis, dan penumonitis

Penyakit
Spesifitas antibodi
Mekanisme
Manifestasi klinopatologi
Lupus eritematosus
DNA, nukleoprotein
Inflamasi diperantarai komlplemen dan reseptor Fc
Nefritis, vaskulitis, artritis
Poliarteritis nodosa
Antigen permukaan virus hepatitis B
Inflamasi diperantarai komplemen dan reseptor Fc
Vaskulitis
Glomreulonefritis post-streptokokus
Antigen dinding sel streptokokus
Inflamasi diperantarai komplemen dan reseptor Fc
Nefritis
(Abbas,2004)

4.      Reaksi hipersensitivitas tipe IV (reaksi lambat)
Reaksi tipe IV disebut juga reaksi hipersensitivitas lambat, cell mediatif immunity (CMI), Delayed Type Hypersensitivity (DTH) atau reaksi tuberculin yang timbul lebih dari 24 jam setelah tubuh terpajan dengan antigen. Reaksi terjadi karena sel T yang sudah disensitasi tersebut, sel T dengan reseptor spesifik pada permukaannya akan dirangsang oleh antigen yang sesuai dan mengeluarkan zat disebut limfokin. Limfosit yang terangsang mengalami transformasi menjadi besar seperti limfoblas yang mampu merusak sel target yang mempunyai reseptor di permukaannya sehingga dapat terjadi kerusakan jaringan.

Antigen yang dapat mencetuskan reaksi tersebut dapat berupa jaringan asing (seperti reaksi allograft), mikroorganisme intra seluler (virus, mikrobakteri, dll). Protein atau bahan kimia yang dapat menembus kulit dan bergabung dengan protein yang berfungsi sebagai carrier. Selain itu, bagian dari sel limfosit T dapat dirangsang oleh antigen yang terdapat di permukaan sel di dalam tubuh yang telah berubah karena adanya infeksi oleh kuman atau virus, sehingga sel limfosit ini menjadi ganas terhadap sel yang mengandung antigen itu (sel target).

Kerusakan sel atau jaringan yang disebabkan oleh mekanisme ini ditemukan pada beberapa penyakit infeksi kuman (tuberculosis, lepra), infeksi oleh virus (variola, morbilli, herpes), infeksi jamur (candidiasis, histoplasmosis) dan infeksi oleh protozoa (leishmaniasis, schitosomiasis).

Hipersensitivitas ini diinisiasi oleh antigen yang mengaktivasi limfosit T, termasuk sel T  CD4+ dan CD8+. Sel T CD4+ yang memediasi hipersensitivitas ini dapat mengakibatkan inflamasi kronis. Banyak penyakit autoimun yang diketahui terjadi akibat inflamasi kronis yang dimediasi oleh sel T CD4+ ini. Dalam beberapa penyakit autoimun sel T CD8+ juga terlibat tetapi apabila terjadi juga infeksi virus maka yang lebih dominan adalah sel T CD8+ (Abbas, 2004)

Reaksi inflamasi disebabkan oleh sel T CD4+ yang merupakan kategori hipersensitivitas reaksi lambat terhadap antigen eksogen. Reaksi imunologis yang sama juga terjadi akibat dari reaksi inflamasi kronis melawan jaringan sendiri. IL1 dan IL17 keduanya berkontribusi dalam terjadinya penyakit organ-spesifik yang dimana inflamasi merupakan aspek utama dalam patologisnya. Reaksi inflamasi yang berhubungan dengan sel TH1 akan didominasi oleh makrofag sedangkan yang berhubungan dengan sel TH17 akan didominasi oleh neutrofil (Abbas, 2004)

Reaksi yang terjadi di hipersensitivitas ini dapat dibagi menjadi beberapa 2 tahap: Proliferasi dan diferensiasi sel T CD4+ sel T CD4+ mengenali susunan peptida yang ditunjukkan oleh sel dendritik dan mensekresikan IL2 yang berfungsi sebagai autocrine growth factor untuk menstimulasi proliferasi antigen-responsive sel T. Perbedaan antara antigen-stimulated sel T dengan TH1 atau Th17 adalah terrlihat pada produksi sitokin oleh APC saat aktivasi sel T. APC (sel dendritik dan makrofag) terkadang akan memproduksi IL12 yang menginduksi diferensiasi sel T menjadi TH1. IFN-γ akan diproduksi oleh sel TH1 dalam perkembangannya. Jika APC memproduksi sitokin seperti IL1, IL6, dan IL23; yang akan berkolaborasi dengan membentuk TGF- β untuk menstimulasi diferensiasi sel T menjadi TH17. Beberapa dari diferensiasi sel ini akan masuk kedalam sirkulasi dan menetap di memory pool selama waktu yang lama (Abbas, 2004).

Respon terhadap diferensiasi sel T efektor apabila terjadi pajanan antigen yang berulang akan mengaktivasi sel T akibat dari antigen yang dipresentasikan oleh APC. Sel TH1 akan mensekresikan sitokin (umumnya IFN-γ) yang bertanggung jawab dalam banyak manifestasi dari hipersensitivitas tipe ini. IFN-γ mengaktivasi makrofag yang akan memfagosit dan membunuh mikroorganisme yang telah ditandai sebelumnya. Mikroorganisme tersebut mengekspresikan molekul MHC II, yang memfasilitasi presentasi dari antigen tersebut. Makrofag juga mensekresikan TNF, IL1 dan kemokin yang akan menyebabkan inflamasi. Makrofag juga memproduksi IL12 yang akan memperkuat respon dari TH1. Semua mekanisme tersebut akan mengaktivasi makrofag untuk mengeliminasi antigen. Jika aktivasi tersebut berlangsung secara terus menerus maka inflamasi kan berlanjut dan jaringan yang luka akan menjadi semakin luas. TH17 diaktivasi oleh beberapa antigen mikrobial dan bisa juga oleh self-antigen dalam penyakit autoimun. Sel TH17 akan mensekresikan IL17, IL22, kemokin, dan beberapa sitokin lain. Kemokin ini akan merekrut neutrofil dan monosit yang akan berlanjut menjadi proses inflamasi. TH17 juga memproduksi IL12 yang akan memperkuat proses Th17 sendiri (Abbas, 2004).

Reaksi sel T CD8+ sel T CD8+ akan membunuh sel yang membawa antigen. Kerusakan jaringan oleh CTLs merupakan komponen penting dari banyak penyakit yang dimediasi oleh sel T, sepert diabetes tipe I. CTLs langsung melawan histocompatibilitas dari antigen tersebut yang merupakan masalah utama dalam penolakan pencakokan. Mekanisme dari CTLs juga berperan penting untuk melawan infeksi virus. Pada infeksi virus, peptida virus akan memperlihatkan molekul MHC I dan kompleks yang akan diketahui oleh TCR dari sel T CD8+. Pembunuhan sel yang telah terinfeksi akan berakibat eliminasinya infeksi tersebut dan juga akan berakibat pada kerusakan sel (Abbas, 2004).

Prinsip mekanisme pembunuhan sel yang  terinfeksi yang dimediasi oleh sel T melibatkan perforins dan granzymes yang merupakan granula seperti lisosom dari CTLs. CTLs yang mengenali sel target akan mensekresikan kompleks yang berisikan perforin , granzymes, dan protein yang disebut serglycin yang dimana akan masuk ke sel target dengan endositosis. Di dalam sitoplasma sel target perforin memfasilitasi pengeluaran granzymes dari kompleks. Granzymes adalah enzim protease yang memecah dan mengaktivasi caspase, yang akan menginduksi apoptosis dari sel target. Pengaktivasian CTLs juga mengekspresikan Fas Ligand, molekul yang homolog denga TNF, yang dapat berikatan dengan Fas expressed pada sel target dan memicu apoptosis. Sel T CD8+ juga memproduksi sitokin (IFN-γ) yang terlibat dalam reaksi inflamasi dalam DTH, khususnya terhadap infeksi virus dan terekspos oleh beberapa agen kontak (Abbas, 2004).
Secara singkat, mekanisme reaksi ini adalah sebagai berikut :
  • Limfosit T tersensitasi
  • Pelepasan sitokin dan mediator lainnya atau sitotoksik yang diperantarai oleh sel T langsung
  • Timbul menifestasi (tuberkulosis, dermatitis kontak, dan reaksi penolakan transplant).

Penyakit
Spesifitas sel T patogenik
Penyakit pada manusia
Contoh pada hewan
Diabetes melitus tergantung insulin (tipe I)
Antigen sel islet (insulin, dekarboksilase asam glutamat)
Spesifisitas sel T belum ditegakkan
Tikus NOD, tikus BB, tikus transgenik
Artritis reumatoid
Antigen yang tidak diketahui di sinovium sendi
Spesifisitas sel T dan peran antibodi belum ditegakkan
Artritis diinduksi kolagen
Ensefalomielitis alergi eksperimental
Protein mielin dasar, protein proteolipid
Postulat : sklerosis multipel
Induksi oleh imunisasi dengan antigen mielin SSP; tikus transgenik
Penyakit inflamasi usus
Tidak diketahui, peran mikroba intestinal
Spesifisitas sel T belum ditegakkan
Induksi oleh rusaknya gen IL-2 atau IL-10 atau kurangnya regulator sel T
(Abbas, 2004)

Pengobatan atau penanganan pada reaksi hipersensitivitas, sebagai berikut:
1.      Menghindari allergen
2.      Terapi farmakologis
a.       Adrenergik
Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin ( epinefrin, isoetarin, isoproterenol, bitolterol ) dan nonkatelomin ( efedrin, albuterol, metaproterenol, salmeterol, terbutalin, pributerol, prokaterol dan fenoterol ). Inhalasi dosis tunggal salmeterol dapat menimbulkan bronkodilatasi sedikitnya selam 12 jam, menghambat reaksi fase cepat maupun lambat terhadap alergen inhalen, dan menghambat hiperesponsivitas bronkial akibat alergen selama 34 jam.

b.      Antihistamin
Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan histamin pada reseptor di berbagai jaringan. Karena antihistamin berperan sebagai antagonis kompetitif mereka lebih efektif dalam mencegah daripada melawan kerja histamine.

c.       Kromolin Sodium
Kromolin sodium adalah garam disodium 1,3-bis-2-hidroksipropan. Zat ini merupakan analog kimia obat khellin yang mempunyai sifat merelaksasikan otot polos. Obat ini tidak mempunyai sifat bronkodilator karenanya obat ini tidak efektif unutk pengobatan asma akut. Kromolin paling bermanfaat pada asma alergika atau ekstrinsik.

d.      Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk pengobatan alergi. Beberapa pengaruh prednison nyata dalam 2 jam sesudah pemberian peroral atau intravena yaitu penurunan eosinofil serta limfosit prrimer. Steroid topikal mempunyai pengaruh lokal langsung yang meliputi pengurangan radang, edema, produksi mukus, permeabilitas vaskuler, dan kadar Ig E mukosa.

  1. Imunoterapi
Imunoterapi diindikasikan pada penderita rhinitis alergika, asma yang diperantarai Ig E atau alergi terhadap serangga. Imunoterapi dapat menghambat pelepasan histamin dari basofil pada tantangan dengan antigen E ragweed in vitro. Leukosit individu yang diobati memerlukan pemaparan terhadap jumlah antigen E yang lebih banyak dalam upaya melepaskan histamin dalam jumlah yang sama seperti yang mereka lepaskan sebelum terapi. Preparat leukosit dari beberapa penderita yang diobati bereaksi seolah-olah mereka telah terdesensitisasisecara sempurna dan tidak melepaskan histamin pada tantangan dengan antigen E ragweed pada kadar berapapun

  1. Profilaksis
Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin inhibitor seperti traneksamat, sering kali sangat efektif untuk urtikaria atau angioedema.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jalur Aktivasi Komplemen

Sitokin

Terapi imunosupresan (oleh : Trisna noviani)