Terapi imunosupresan (oleh : Trisna noviani)

IMUNOSUPRESAN
A. Pengertian Imunosupresan
Imunosupresan adalah kelompok obat yang digunakan untuk menekan respon imun seperti pencegah penolakan transpalansi, mengatasi penyakit autoimun dan mencegah hemolisis rhesus dan neonatus. Sebagain dari kelompok ini bersifat sitotokis dan digunakan sebagai antikanker. Immunosupresan merupakan zat-zat yang justru menekan aktivitas sistem imun dengan jalan interaksi di berbagai titik dari sistem tersebut. Titik kerjanya dalam proses-imun dapat berupa penghambatan transkripsi dari cytokin, sehingga mata rantai penting dalam respon-imun diperlemah. Khususnya IL-2 adalah esensial bagi perbanyakan dan diferensial limfosit, yang dapat dihambat pula oleh efek sitostatis langsung. Lagi pula T-cells bisa diinaktifkan atau dimusnahkan dengan pembentukan antibodies terhadap limfosit. Imunosupresan digunakan untuk tiga indikasi utama yaitu, transplanatasi organ, penyakit autoimun, dan pencegahan hemolisis Rhesus pada neonatus.

B.  Deskripsi
Imunosupresan adalah kelompok obat yang digunakan untuk menekan respon imun seperti pencegah penolakan transpalansi, mengatasi penyakit autoimun dan mencegah hemolisis rhesus dan neonatus. Sebagain dari kelompok ini bersifat sitotokis dan digunakan sebagai antikanker.
           Respon imun
Pada mahkluk tingkat tinggi seperti hewan vertebrata dan manusia, terdapat dua sistem pertahanan (imunitas), yaitu imunitas nonsepesifik (innate immunity) dan imunitas spesifik ( adaptive imunity).

1.      Imunitas nonspesifik.
Merupakan mekanisme pertahanan terdepan yang meliputi komponen fisik berupa keutuhan kulit dan mukosa; komponen biokimiawi seperti asam lambung, lisozim, komploment ; dan komponen seluler nonspesifik seperti netrofil dan makrofag. Netrofil dan makrofag melakukan fagositosis terhadap benda asing dan memproduksi berbagai mediator untuk menarik sel-sel inflamasi lain di daerah infeksi. Selanjutnya benda asing akan dihancurkan dengan mekanisme inflamasi.


2.      Imunitas spesifik
Memiliki karakterisasi khusus antara lain kemampuannya untuk bereaksi secara spesifik dengan antigen tertentu; kemampuan membedakan antigen asing dengan antigen sendiri (nonself terhadap self) ; dan kemampuan untuk bereaksi lebih cepat dan lebih efesien terhadap antigen yang sudah dikenal sebelumnya. Respon imun spesifik ini terdiri dari dua sistem imun , yaitu imunitas seluler dan imunitas humoral. Imunitas seluer melibatkan sel limposit T, sedangkan imunitas humoral melibatkan limposit B dan sel plasma yang berfungsi memproduksi antibodi.
           Aktivitas respon imun spesifik
Aktivitas sistem imun spesifik memerlukan partisipasi kelompok sel yang disebut sebagai antigen presenting sel.
           Indikasi imunosupresan
Imunosupresan digunakan untuk tiga indikasi utama yaitu:
1.      transplantasi organ
2.      penyakit autoimun
3.      pencegahan hemolisis Rhesus pada neonates
           Prinsip umum terapi imunosupresan
Prinsip umum penggunaan imunosupresan untuk mencapai hasil terapi yang optimal adalah sebagai berikut:
1. Respon imun primer lebih mudah dikendalikan dan ditekan dibandingkan dengan respon imun sekunder. Tahap awal respon primer mencakup: pengolahan antigen oleh APC, sintesis limfokin, proliferasi dan diferensiasi sel-sel imun. Tahap ini merupakan yang paling sensitif terhadap obat imunosupresan. Sebaliknya, begitu terbentuk sel memori, maka efektifitas obat imunosupresan akan jauh berkurang.
2. Obat imunosupresan memberikan efek yang berbeda terhadap antigen yang berbeda. Dosis yang dibutuhkan untuk menekan respon imun terhadap suatu antigen berbeda dengan dosis untuk antigen lain.
3. Penghambatan respon imun lebih berhasil bila obat imunosupresan diberikan sebelum paparan terhadap antigen. Sayangnya, hampir semua penyakit autoimun baru bisa dikenal setelah autoimuitas berkembang, sehingga relatif sulit diatasi.
           Pilahan Obat Imunosupresan
Secara praktis, di klinik penggunaan obat imunosupresan berdasarkan waktu pemberiannya. Untuk itu, respon imun dibagi dalam dua fase :
1. Fase pertama adalah fase induksi, yang meliputi : 
        Fase pengolahan antigen oleh makrofag, dan pengenalan antigen oleh limfosit imunokompeten.
        Fase proliferasi dan diferensiasi sel B dan sel T
2.    Fase kedua adalah fase produksi, yaitu fase sintesis aktif antibodi dan limfokin.
Berdasarkan respon imun, imunosupresan dibagi menjadi tiga kelas :
Kelas I: harus diberikan sebelum fase induksi yaitu sebelum terjadi perangsangan oleh antigen. Kerjanya merusak limfosit imunokompeten. Jika diberikan setelah terjadi perangsangan oleh antigen, biasanya tidak diperoleh efek imunosupresif sehingga respon imun dapat berlanjut terus.
Kelas II: harus diberikan dalam fase induksi, biasanya satu atau dua hari setelah perangsangan oleh antigen berlangsung. Obat golongan ini bekerja mengambat proses diferensiasi dan proliferasi sel imunokompeten, misalnya antimetabolit.
Kelas III: memiliki sifat dari kelas I dan II. Jadi golongan ini dapat menghasilkan imunosupresi bila diberikan sebelum maupun sesudah adanya perangsangan oleh Antigen.

C. Obat Imunosupresan

1.Azatioprin
Azatioprin sudah digunakan selama 20 tahun untuk menekan penolakan cangkok organ ginjal dan sudah merupakan prosedur yang diterima. Juga digunakan untuk pengobatan artritis reumatoid berat yang refrakter.
Toksisitas terhadap darah seperti leukopenia dan trombositopenia harus dimonitor dengan baik sebagai petunjuk penentuan dosis azatioprin.
      Mekanisme kerja.
Azotioprin adalah antimetabolit golongan purin yang merupakan prekursor 6-merkaptopurin. Azotioprin dalam tubuh diubah menjadi 6-merkaptopurin(6-MP) yang merupakan metabolit aktif dan bekerjaMenghambat sintesis de novo purin.
      Interaksi
Penggunaan bersama allopurinol menyebabkan hambatan Xantin oksidase yang juga merupakan enzim penting dalam metabolisme 6-merkaptopurin,sehingga kombinasiIni meningkatkan toksisitas azotioprin dan merkaptopurin.
      Penggunaan klinis 
Azotioprin digunakan antara lain untuk mencegahPenolakan transplantasi,lupus nefritis.GNA, AR,Penyakit Crohn,dan sklerosis multipel.Obat ini kadang2 digunakan untuk ITP dan AIHA yangRefrakter terhadap steroid.Untuk profilaksis digunakan dosis 3-10 mg/KgBB per hari1 atau 2 hari sebelum transplantasi.Dosis pemeliharaan 1-3 mg/KgBB per hari.Obat ini tersedia dalam bentuk tablet 50 mg dan iv100mg/vial
      Efek Samping
Menghambat proliferasi sel-sel yang cepat tumbuh sepertiMukosa usus,dan sumsum tulang dengan akibatleukopeni dan trombositopeni.Ruam kulit,mual.mutah dan diare.Dapat terjadi peningkatan enzim transaminase,kolestasis. Efek samping lain dapat terjadi peningkatan risikoInfeksi dan efek mutagenisitas dan karsinogenisitas.

2.      Metotreksat (MTX)
Digunakan sebagai obat tunggal atau kombinasi dengan siklosporin dalam mencegah penolakan cangkok sumsum tulang. MTX juga berguna untuk penyakit autoimun dan peradangan tertentu. Saat ini disetujui untuk digunakan dalam pengobatan artritis reumatoid yang aktif dan berat pada orang dewasa dan pada psoriasis yang sudah refrakter terhadap obat lain.
o   Nama : 4-amino-4-deoxy–10-methylpteoryl-L-glutamic acid.
o   Struktur kimia : C20H22N8O5
o   Sifat Fisikokimia : Serbuk kristal berwarna kuning atau oranye, higroskopis. Praktis tidak larut dalam air, alkohol, diklorometan, terurai dalam larutan asam mineral, basa hidroksida dan karbonat.
o   Golongan/Kelas Terapi
Antineoplastik, Imunosupresan dan obat utnuk terapi. 
o   Nama dagang
Emthexate-Combiphar/Pharmachemie,Methotrexat-Ebewe,
Methotrexate Kalbe.
o   Indikasi :
Pengobatan untuk neoplasma trofoblatik, leukemia, psoriasis, reumatoid artritis, termasuk terapi poliartikular juvenile reumatoid artritis (JDR); karsinoma payudara, karsinoma leher dan karsinoma kepala,karsinoma paru, osteosarkoma, sarcoma jaringan lunak, karsinoma saluran gastrointestinal, karsinoma esofagus, karsinoma testes, karsinoma limfoma.
o   Dosis, cara pemberian dan lama pemberian :
Dosis 100 – 500 mg/m² membutuhkan leucovorin rescue, > 500 mg/m² harus menggunakan leucovorin rescue baik secara iv, im, maupun oral. Leucovorin 10 mg/m² setiap 6 jam untuk 6-8 dosis dimulai 24 jam setelah pemberian metotreksat. Pemberian leucovorin dilanjutkan sampai kadar metotreksat dalam darah sebesar < 0.1 micromolar. Jika kadar metotreksat setelah 48 jam > 1 mikromolar atau setelah 72 jam > 0.2 micromolar,berikan leucovorin 100 mg/m² setiap 6 jam sampai kadar metotreksat sebesar < 0.1 micromolar.

o   Farmakologi :
Onset kerja : Antirematik: 3-6 minggu; tambahan perbaikan bisa dilanjutkan lebih lama dari 12 minggu.
Absorpsi : Oral: cepat : diserap baik pada dosis rendah (<30 mg/m2); tidak lengkap setelah dosis tinggi ; I.M.: Lengkap
Distribusi : Penetrasi lambat sampai cairan fase 3 (misal pleural efusi, ascites), eksis lambat dari kompartemen ini (lebih lambat dari plasma), melewati plasenta, jumlah sedikit masuk kelenjar susu, konsentrasi berangsur-angsur dikeluarkan di ginjal dan hati.
Ikatan protein: 50%
Metabolisme: <10%: Degradasi dengan flora intestinal pada DAMPA dengan karboksipeptida, oksidasi aldehid konversi metotreksat menjadi 7-OH metotreksat di hati; poliglutamat diproduksi secara mempunyai kekuatan samadengan metotreksat, produksinya tergantung dosis, durasi dan lambat dieliminasi oleh sel.
T ½ eliminasi: Dosis rendah: 3-10 jam; I.M.: 30-60 menit.
Ekskresi : Urin (44%-100%); feses (jumlah kecil)
Stabilitas penyimpanan :
Tablet dan vial disimpan pada suhu kamar (15-25°C), hindari cahaya matahari langsung.
o   Kontra Indikasi :
Hipersensitifitas dari metotreksat dan komponan lain dari sediaan; kerusakan hebat ginjal dan hati,pasien yang mengalami supresi sum-sum tulang dengan psoriasis atau reumatoid artritits,penyakit alkoholik hati,AIDS,darah diskariasis,kehamilan,menyusui.
o   Efek samping :
Efek samping beragam sesuai rute pemberian dan dosis.
1.      Hematologi dan/atau toksisitas gastrointestinal : sering terjadi pada penggunaan umum dari dosis umum metotreksat; reaksi ini lebih sedikit terjadi ketika digunakan pada dosis topikal untuk reumatoid artritis.
2.      SSP : (dengan pemberian intratekal atau terapi dosis tinggi): Arachnoides: Manifestasi reaksi akut sebagai sakit kepala hebat, rigidity nuchal, muntah dan demam, dapat alleviated dengan pengurangan dosis.
3.      Subakut toksisitas: 10% pasien diobat dengan 12-15 mg/m2 dari intratekal metotreksat bisa membuat ini dalam minggu kedua atau ketiga dari terapi; konsis dari paralisis motor dari ekstremites,palsy nerve kranial, seizure, atau koma.Hal ini juga terlihat pada pediatrik yang menerima dosis tinggi IV metotreksat.
4.      Demyelinating enselopati: telihat dalam bulan atau tahun setelah menerima metotreksat; biasanya diasosiasikan dengan iradiasi kranial atau kemoterapi sistemik yang lain.
5.      Dermatologi: Kulit menjadi kemerahan.Endokrin dan metabolik: Hipoerurikemia,detektif oogenesis, atau spermatogenesis.
6.      GI: Ulserativ stomatitis, glossitis, gingivitis, mual, muntah, diare, anoreksia, perforasi intestinal, mukositis (tergantung dosis; terlihat pada 3-7 hari setelah terapi, terhenti setelah 2 minggu).
7.     Hematologi: Leukopenia, trombositopenia.Ginjal: Gagal ginjal, azotemia,nefropati.Pernafasan: Faringitis. 1%-10%.
8.      Kardiovaskular: Vaskulitis.SSP, pusing, malaise, enselopati, seizure, demam, chills.
9.      Myelosupresif : Terutama faktor batas-dosis (bersama dengan mukositis) dari metotreksat, terjadi sekitar 5-7 hari setelah terapi, dan harus dihentikan selama 2 minggu 10.
10.  WBC : Ringan, Platelet: Sedang, Onset: 7 hari, Nadir: 10 hari, Recovery: 21 hari.
11.  Hepatik : Sirosis dan fibrosis portal pernah diasosiasikan dengan terapi kronik metotreksat, evaliasi akut dari enzym liver adalah biasa terjadi setelah dosis tinggi dan biasanya resolved dalam 1 hari.Neuromuskular dan skeletal: Arthalgia. Okular: Pandangan.
12.  Renal : Disfungsi ginjal. Manifestasi karena abrupt rise pada serum kreatinin dan BUN dan penurunan output urin, biasa terjadi pada dosis tinggi dan berhubungan dengan presipitasi dari obat.
13.  Respirator (Penumositis) : Berhubungan dengan demam, batuk, dan interstitial pulmonari infitrates; pengobatan dengan metotreksat selama reaksi akut; interstitial pneumisitis pernah dilaporkan terjadi dengan insiden dari 1% pasien dengan RA (dosis 7.5-15 mg/minggu) <1% (terbatas sampai penting untuk penyelamatan hidup): Neurologi akut sindrom (pada dosis tinggi- simptom termasuk kebingungan, hemiparesis, kebutaan transisi,dan koma); anafilaksis alveolitis; disfungsi kognitif (pernah dilaporkan pada dosis rendah),penurunan resistensi infeksi,eritema multiforma, kegagalan hepatik, leukoenselopati (terutama mengikuti irasiasi spinal atau pengulangan terapi dosis tinggi),disorder limpoproliferatif, osteonekrosis dan nekrosis jaringan lunak (dengan radioterapi), perikarditis, erosions plaque (Psoriasis), seizure (lebih sering pada pasien dengan ALL),sindrom Stevens – Johnson, tromboembolisme.
o   Interaksi :
1.      Dengan Obat lain
Efek meningkatkan/toksisitas: Pengobatan bersama dengan NSAID telah menghasilkan supresi sum-sum tulang berat, anemia aplastik dan toksisitas pada saluran gastrointestinal. NSAID tidak boleh digunakan selama menggunakan metotreksat dosis sedang atau tinggi karena dapat meningkatkan level metotreksat dalam darah (dapat menaikkan toksisitas):
NSAID digunakan selama pengobatan dari reumatoid artritis tidak pernah amati, tapi kelanjutan dari regimen terdahulu pernah diikuti pada beberapa keadaan, dengan peringatan monitoring. Salisilat bisa meningkatkan level metotreksat, bagaimanapun penggunaan salisilat untuk profilaksis dari kejadian kardiovaskular tidak mendapat perhatian.
2.      Dengan Makanan
Level metotreksat bisa menurun jika bersama dengan makanan. Makanan dengan banyak susu dapat menurunkan absorpsi metotreksat. Folat dapat menurunkan respons obat. Hindari echinacea (mempunyai sifat sebagai imunostimulan).

o   Pengaruh :
  Kehamilan
Faktor resiko X
  Ibu menyusui
Metotreksat didistribusikan ke dalam air susu, dikontraindikasikan untuk ibu menyusui.
o   Bentuk Sediaan : Tablet 2.5 ml, Vial 5 mg/2ml, Vial 50 mg/2 ml, Ampul 5 mg/ml, Vial 50mg/5ml.
1.  Siklofosfamid
Secara umum siklofosfamid mengurangi respon imun humoral dan meningkatkan respon imun selular. Selain pada bedah cangkok, obat ini juga digunakan pada artritis reumatoid, sindrom nefrotik dan granulomatosis Wegener.
2.   Kortikosteroid
Yang digunakan sebagai imunosupresan adalah golongan glukokortikoid yaitu prednison dan prednisolon. Kortikosteroid (glukokortikoid) digunakan sebagai obatTunggal atau dalam kombinasi dengan imunosupresanLain untuk mencegah reaksi penolakan transplantasi danUntuk mengatasi penyakit aoutoimun.
a.       Mekanisme Kerja
Glukokortikoid dapat menurunkan jumlah limfosit secaraCepat, terutama bila diberikan dalam dosis besar.Studi terbaru menunjukkan bahwa kortikosteroid menghambatProliferasi sel limfosit T,imunitas seluler.
b.      Penggunaan Klinik
Kortikosteroid biasanya digunakan bersama imunosupresanLain dalam mencegah penolakan transplantasi.Untuk ini diperlukan dosis besar untuk beberapa hari.Kortikosteroid juga digunakan untuk mengurangi reaksi Alergi yang bisa timbul pada pemberian antibodi monoklonal Atau antibodi antilimfosit.juga digunakan untuk berbagai Penyakit autoimun
c.       Toksisitas
Penggunaan steroid dalam jangka panjang seringMenimbulkan berbagai efek samping,seperti meningkatnyaRisiko infeksi.
3.  Siklosporin (Cyclosporin A)
Berasal dari jamur Tolypocladium inflatum gams. Siklosporin punya efek imunosupresan karena mempunyai kemampuan yang selektif dalam menghambat sel T. Siklosporin digunakan terutama dalam kombinasi denga prednison untuk mempertahankan ginjal, hati dan cangkok jantung pada transplantasi.
Siklospurin (sandimun).Sediaan iv terdapat dalam bentuk larutan dalamEthanol-polyxyethylated castor oil dengan kadar 50 mg/ml.Dan sediaan oral berupa kapsul lunak 25-100 mg dan larutan100 mg/mlPemberian peroral kadar puncak tercapai setelah 1,3-4 jam. Adanya makanan berlemak sangat mengurangi absorbsiSiklospurin kapsul lunak.Waktu paruh kurang lebih 6 jam.Ekskresi terutama melalui empedu dan feces,hanya 6%Yang melalui urin
4. Rho (D) imunoglobulin
Antibodi ini merupakan bentuk spesifik dalam pengobatan imunologi untuk ibu dengan Rho (D) negatif yang terpapar darah Rho (D) positif pada perdarahan karena abortus, amniosintesis, trauma abdomen atau kelahiran biasa dari janin.
5. Tacrolimus (prograf)
Senyawa makrolida ini diekstraksi dari jamur streptomyces tsukubaensis (1993). Khasiat dan mekanisme immunosupressivenya sama dengan sikolosporin, tetapi ca lebih kuat 50x dalam hal pencegahan sintesa IL-2 yang mutlak perlu untuk proliferasi sel –T. Juga bersifat sangat lipofil dan sama efektifnya dengan siklosporin pada transplantasi hati, jantung, paru-paru, dan ginjal. Terutama digunakan bersama kortikosteroida. Lebih sering menimbulkan efek samping berupa toksisitas bagi ginjal dan saraf.
Dosis : infuse i.v. 0,05-0,1 mg /kg/hari, 6 jam setelah transplantasi selama 2-3 hari, lalu dilanjutkan oral 0,15-0,3 mg/kg/hari dalam 2 dosis.
6.  Mycofenolat-mofetil (CellCept)
Obat terbaru ini (1996) adalah prodrug dengan khasiat menekan perbenyakan dari khusus limfosit melalui inhibisi enzim dehidrogenasi yang diperlukan untuk sintese purin (DNA/RNA). Ternyata sangat efektif untuk melawan penolakan akut setelah transplantasi ginjal. Dibandingkan dengan obat-obat lainya , yaitu azatioprin dan siklosporin ( dan prednisone), persentase penolakan dikurangi sampai 50%. Lagi pula efek sampingnya lebih sedikit. Mungkin berdaya pula untuk menghambat penolakan menahun (jangka panjang) yang smpai kini merupakan maslah besar.
Resorpsinya dari usus baik, dengan BA 90%. Dalam hati segera diubah menjadi asam mycofenolat aktif . Ekskresinya berlangsung melaluiurin sebagai glukuronidanya (inaktif), sesudah mengalami resirkulasi enterohepatis. Plasma – t1/2 mycofenolat adalah ca 16 jam.
Dosis : dalam waktu 72 jam setelah transplantasi 2 dd 1ga.c dengan minyak air.
7. Talidomida (synovir)
Derivat-piperidin ini (1957) adalah obat tidur dengan efek teratogen sangat kuat (peristiwa softenon, 1962, lihat edisi empat), yang berdasarkan khasiat anti-angiogenesisnya. Juga berdaya imunosupresif (anti-TNF). Dan antiradang. Setelah dilarang peredaranya selama lebih dari 25 tahun, sejak awal tahun 1990-an talidomida mulai digunakan lagi antara lain untuk menekan reaksi lepra dan meringankan gejala AIDS seperti (aphtae) dimulut , kerongkongan, dan kemaluan, serta diare dan kehilangan bobot serius. Di AS penggunaanya pada lepra disahkan kembali sejak akhir tahun 1997 dengan syarat- syarat ketat. Dewasa ini efektivitasnya sedang diselidiki secara klinis untuk berbagai penyakit auto-imun.
8.  Sulfalazin (sulcolon)
Sulfalazin adalah persenyawaan sulfapiridin dengan 5- ASA yang bersifat antiradang dengan jalan blokade siklo-oksigenase serta lipoksigenase dan dengan demikian mencegah sintesis prostaglandin dan leukotrien . Sulfalazin mempengaruhi fungsi limfosit, mungkin lewat cytokine, juga berdaya antioksidans ( ‘ Menangkap’ radikal bebas O2). Zat ini digunakan khusus pada penyakit usus beradang kronis (crohn, colitis) dan pada rema.

D. Contoh Penyakit
Salah satu penyakit yang dapat diobati dengan imunosupresan adalah Penyakit Lupus.
a.       Pengertian
Penyakit lupus adalah penyakit sistem daya tahan, atau penyakit auto imun, artinya tubuh pasien lupus membentuk antibodi yang salah arah, merusak organ tubuh sendiri, seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Antibodi seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri ataupun virus yang masuk ke dalam tubuh.
Lupus adalah penyakit yang disebabkan sistem imun menyerang sel-sel jaringan organ tubuh yang sehat. sistem imun yang terbentuk berlebihan. Kelainan ini dikenal dengan autoimunitas. pada kasus satu penyakit ini bisa membuat kulit seperti ruam merah yang rasanya terbakar (lupus DLE). pada kasus lain ketika sistem imun yang berlebihan itu menyerang persendian dapat menyebabkan kelumpuhan (lupus SLE).
SLE (Sistemics lupus erythematosus) adalah penyakti radang multisistem yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoimun dalam tubuh.Pada penderita lupus, sistem imunitasnya tidak mampu membedakan antara substansi asing dan sel-sel dan jaringan tubuh. Antibodi yang dihasilkan justru melawan sel-sel yang seharusnya dibutuhkan oleh tubuh.
b.      Etiologi
Sehingga kini faktor yang merangsangkan sistem pertahanan diri untuk menjadi tidak normal belum diketahui. Ada kemungkinan faktor genetik, kuman virus, sinaran ultraviolet, dan obat-obatan tertentu memainkan peranan.Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) ini lebih kerap ditemui di kalangan kaum wanita. Ini menunjukkan bahwa hormon yang terdapat pada wanita mempunyai peranan besar, walau bagaimanapun perkaitan antara Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) dan hormon wanita saat ini masih dalam kajian.
Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) bukanlah suatu penyakit keturunan. Walau bagaimanapun, mewarisi gabungan gen tertentu meningkatkan lagi risiko seseorang itu mengidap penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE).
c.       Klasifikasi
Ada 3 jenis penyakit Lupus yang dikenal yaitu:
1) Discoid Lupus, yang juga dikenal sebagai Cutaneus Lupus, yaitu penyakit Lupus yang menyerang kulit.
2)  Systemics Lupus, penyakit Lupus yang menyerang kebanyakan system di dalam tubuh, seperti kulit, sendi, darah, paru-paru, ginjal, hati, otak, dan system saraf. Selanjutnya kita singkat dengan SLE (Systemics Lupus Erythematosus).
3)  Drug-Induced, penyakit Lupus yang timbul  setelah penggunaan obat tertentu. Gejala-gejalanya biasanya menghilang setelah pemakaian obat dihentikan.Pengaruh kehamilan terhadap SLE, Eksaserbasi terjadi karena hormone estrogen meningkat selama kehamilan.
d.      Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoimun diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
e.       Manifestasi Klinis
1.      Sistem Muskuloskeletal
Artralgia, artritis (sinovitis), pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
2.      Sistem integument
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi.Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
3.      Sistem kardiak
Perikarditis merupakan manifestasi kardiak.
4.      Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
5.      Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
6.      Sistem perkemihan
Glomerulus renal yang biasanya terkena.
7.      Sistem saraf
Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.
f.       Pemeriksaan lupus :
Untuk menguji apakah seseorang menderita lupus, maka dilakukan sebuah pengujian dengan menggunakan tes darah bernama Anti Nuclear Antibody (ANA). Tes ini akan mengidentifikasi autoantibodi (antibodi perusak) yang memakan sel-sel berguna di dalam tubuh. Hasil positip tes ini belum bisa dikatakan seseorang menderita lupus. Dibutuhkan data-data lain seperti gejala-gejala, catatan fisik pasien, dan tes lengkap laboratorium hingga dipastikan si pasien apakah menderita lupus.
g.      Gejala-gejala awal lupus :
  Rasa ngilu yang luar biasa di bagian persendian
  Penderita mengalami kelelahan yang ekstrim.
  Muncul semacam bekas luka di sekujur tubuh.
  Pipi dan hidung penderita tampak menyerupai kupu-kupu (butterfly effects).
  Mengalami anemia yang amat parah.
  Saat bernapas, penderita mengalami tekanan yang berati.
  Timbul permasalahan di sekitar hidung dan mulut.
  Sensitif terhadap cahaya, sinar matahari maupun kilatan foto.

h.      Perawatan bagi penderita lupus :
Salah satu perawatan yang dilakukan untuk penderita lupus adalah pengobatan medis. Ada beberapa jenis obat yang bisa mengurangi gejala lupus, akan tetapi, penggunaannya akan menimbulkan efek samping. Gejala dan efek samping yang dialami oleh masing-masing pasien sangan variatif dan tak bisa diprediksi. Jadi dibutuhkan pendampingan oleh petugas kesehatan dalam kasus ini.

i.        Obat-obatan yang diberikan bagi penderita lupus:
  Steroid
  Immunosuppressant
  Antimalarial (Plaquenil/Hydroxychloroquine)
  Non-Steroidal anti-inflammatories
j.        Lupus bisa dicegah dengan:
  Mengurangi kontak dengan sinar matahari
  Menerapkan hidup sehat dan menghindarkan diri dari stres
  Tidak merokok
  Berolahraga secara teratur
  Melakukan diet nutrisi
k.      Fakta-fakta tentang penyakit lupus
        Lupus adalah penyakit autoimunitas, penyakit rheumatic.
        Pada penderita lupus, sistem imunitas tubuh menyerang sel dan jaringan miliknya sendiri.
        Ada lima jenis penyakit lupus dan masing-masing memiliki karakteristik yang khas dan membutuhkan penanganan yang berbeda pula.
        Sembilan puluh persen penderita lupus adalah perempuan.
        Di Amerika Serikat terdapat 11 kampus yang mengkhususkan penanganan terhadap penyakit lupus.
        Sampai dengan sekarang, sangatlah sulit untuk mendiagnosis penyakit lupus.
        Penanganan lupus sangat tergantung dari gejala yang timbul.
        Sebanyak 1,5 juta penduduk dunia menderita lupus.
        Ras tertentu memiliki risiko terkena lupus lebih besar dibandingkan ras lain; Afro-Amerika, Hispanik, Asia, dan Penduduk asli Amerika.
        Mayoritas penderita lupus, setelah diobati, akan tumbuh secara normal.
        Penanganan lupus dilakukan oleh rheumatologist.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sitokin

Jalur Aktivasi Komplemen